Resiko Memasukkan Anak Sekolah dibawah Umur

Diposting pada

Resiko memasukkan anak sekolah dibawah umurBagi Anda yang akan berencana memasukkan anaknya ke SD/MI pastikan umur anak Anda minimal 6.5 tahun di awal pendaftaran. Mengapa ? Karena resiko memasukkan anak sekolah dibawah umur akan sangat berdampak buruk bagi perkembangan belajar anak.

Karena penerimaan murid sekarang diatur oleh sistem yang mana jika anak kita berumur kurang dari 6.5 tahun, maka tidak dapat diproses dengan aturan sistem pusat, proses pendataannya ditolak( merah).

Tingginya Resiko Memasukkan Anak Sekolah di Usia Dini

Resikonya  adalah:

Anak harus tinggal di kelas 1 kemudian tahun depan bisa  untuk proses  pendataan. Nah, dari pada psikologi anak kita terganggu karena tidak naik kelas, ada baiknya ditunda untuk memasukkannya ke SD/MI.

Sebab  kalau terlalu cepat, maka prestasi dan proses belajar anak akan menurun dikelas selanjutnya.

Baca juga: Perangkat Pembelajaran Khusus Untuk Guru

RPP Tematik SD/MI Kelas 1-6 Kurikulum 2013

RPP Satu Halaman/Lembar SD/MI Kelas 1, 2, 3, 4, 5 dan 6

Silabus Tematik SD/MI Kelas 1-6 Semester 1 dan 2

Prota Tematik SD/MI Kelas 1-6 Semester 1 dan 2

Promes Tematik SD/MI Kelas 1-6 Semester 1 dan 2

Dan  kalau tidak sesuai usia dan kesiapan mental anak maka beban materi belajar akan membuat anak tertekan. Antara  kesiapan mental dan intelektual tidak bisa di paksakan, jika itu terjadi pada anak, maka akan berefek buruk.

Semoga. bisa dipahami..

Kalau ada anak kita yang belum 6 tahun merasa bosan di TK yang sama bisa saja dipindahkan ke TK yang lain. Sebenarnya, TK yang benar-benar menjalankan kurikulum tidak akan membuat anak bosan belajar

Alasannya ?
Karena kesesuaian proses belajar di tiap level atau tingkatan ( kelompok A dan B). Karena kurikulum kelompok A dan B juga beda itu yang benar,Jadi sekali lagi saya ingatkan pula bahwa  Jangan tuntut anak kelas A bisa baca tulis berhitung karena kurikulum untuk itu adanya di kelas B

Sebenarnya  berapa sih umur yang ideal untuk seorang anak masuk ke SD/MI? Tidak bisa dijelaskan secara pasti, karena memang tidak ada landasan teorinya, karena  saya yakin setiap orang punya alasan yang berbeda-beda. Hanya saja, apa salahnya kalau kita menguraikan sedikit untuk  memberi gambaran.

1. Massuk Sekolah Dini Mengurangi Masa bermain

Resiko memasukkan anak sekolah di usia dini mungkin membanggakan. Tapi ingat! Ada istilah dalam bahasa dunia pendidikan yaitu  tentang Pause Playing Delay. Apa maksudnya Pause Playing DelayPause Playing Delay adalah Masa bermain yang tertunda, ada kaitannya dengan gangguan belajar pada anak.

Cukup memprihatinkan  bukan?

Berbicara tentang resiko memasukkan anak sekolah pada usia dini banyak pandangan yang berbeda. Sebelum bicara lanjut, saya ingin menceritakan terlebih dahulu sebuah fenomena, yang sering terjadi, dan dulu pernah juga saya alami.

Baca artikel materi ajar ipa sd/mi berikut ini:

1 Belajar Online di Rumah Pelajaran IPA Kelas 1 SD/MI

2 Belajar Online di Rumah Pelajaran IPA Kelas 2 SD/MI

3 Belajar Online IPA Kelas 3 SD/MI, Perubahan Pada Makhluk Hidup

Tapi, jangan dulu berpikiran masa kanak-kanak saya tidak bahagia lo! Bukan, bukan itu! Ini  berkaitan dengan gaya mendidik  orang tua yang memasukkan anaknya ke SD terlalu dini.

Memang Tidak dapat dipungkiri, banyak orang tua terutama para ibu yang ingin memasukkan sekolah anaknya lebih cepat, sedangkan umur anaknya belum mencapai target.

resiko memasukkan anak sekolah dibawah umur

Di beberapa daerah tertentu,  sering saya temui Ibu-ibu memasukan anaknya SD/MI pada umur 5 atau 6 tahun, sedangkan umur 7 tahun dianggap terlalu tua.

Jadi, memasukkan anak sekolah lebih dini dianggap suatu gengsi. Gengsi  anaknya lambat duduk dibangku bangku sekolah. Sehingga banyak orang tua yang ramai-ramai memasukkan anaknya ke SD/MI, walaupun umur anak baru 5 tahun.

Lalu, apa yang dilakukan pihak sekolah?

Ada kebijakan sekolah, yang membatasi penerimaan siswa kelas 1 dengan umur minimal 7 tahun. Tapi ada juga sekolah yang menerima murid baru dengan umur dibawah tujuh tahun, namun dengan syarat anak tersebut sudah sekolah dari bangku Taman Kanak-kanak (TK), atau anak sudah bisa membaca.

2. Masa perkembangan minat belajar

Tidak sedikit orang tua yang ngotot untuk memasukkan anaknya sekolah SD/MI pada umur 5 tahun tapi melalui tes membaca atau berhitung. Jika anak sudah bisa berhitung, minimal sampai 10, maka anak tersebut bisa diterima.

Padahal perkara berhitung sampai 10 adalah mudah bagi sebagian besar anak. Jarang sekali anak yang tidak bisa. Tapi untuk selanjutnya, apakah kita tahu yang dialami anak?

Di kelas 1 SD/MI yang ditemui, bukan teman-teman yang setara umuran dengannya saja. Jadi umur siswa di kelas 1jadi sangat beragam, ada yang 5, 6, dan 7 tahun.

Nah, anak yang baru berumur 5 tahun mungkin bisa mengikuti pembelajaran sama dengan teman-teman yang lainnya, ia dikatakan mampu. Ia bisa naik kelas dengan baik. Dan guru menaikkan anak ini pada kelas yang lebih tinggi tidak ada hambatan.

Maka anak ini lulus SD/MI pada umur 10 tahun, sementara teman-temannya yang lain lulus pada umur 11 atau 12 tahun. Dilihat sepintas, tentu sangat bagus, karena anak dapat menyelesaikan sekolah dasar dalam waktu yang lebih cepat.

Akan tetapi tahukah orang tua, ada satu hal yang hilang dari anak tersebut? Yaitu masa bermainnya! Ya, anak akan merasa kehilangan masa bermainnya, 2 tahun lebih cepat dari teman-temannya.

Seharusnya di usia 10 tahun itu, anak masih berada di bangku SD, yaitu anak menikmati masa bermain, bercanda dengan teman-temannya, mengekspresikan sikap/perilaku perkembangan daya pikirnya, tapi semua itu sirna di tenggelamkan oleh rasa Gengsi dari orang tua.

Dengan demikian resiko memasukkan anak sekolah dibawah umur semakin tinggi.

3. Memasukkan Sekolah usia Dini Mengagangu Masa pendewasaan

Imbasnya, anak jadi tidak tumbuh minat belajarnya ketika di SMP/MTs, tidak lagi kreatif, maunya bersenang-senang dan bermain saja, menikmati masa bermain yang tertunda.

Dari hasil survey, tak jarang anak yang masa SDnya cermelang, kreatif, berprestasi, tapi setelah masuk di SMP/MTs jadi melemah.

Memang ada dampak positifnya  menyekolahkan anak usia dini. Tapi perlu waspada juga pada dampak negatifnya.

Diantara manfaatnya nih, kalau anak sekolah SD/MI diusia dini, kemandirianlah aspek yang seringkali menjadi poin positif untuk anak yang sekolah sejak usia dini.

Pada usia tiga tahun, anak mulai diperkenalkan untuk dasar-dasar belajar formal. Sebagai  kata kuncinya adalah pengenalan melalui pendekatan pembiasaan. Selama  metode pihak sekolah sudah tepat, proses pengenalan akan berdampak positif  bagi anak.

Padahal sebenarnya, pendidikan yang terstruktur dan rutin, sebaiknya diberikan ketika anak masuk SD/MI. Karena sikap formal dalam belajar, dicapai pada anak usia delapan tahun. Pada usia 8 tahun tanggung jawab belajar pada karakter anak sudah berkembang.

Intinya, kalau mau menyekolahkan anak usia dini, carilah sekolah yang pembelajarannya lebih mengutamakan Bermain.

Bukan seperti sekolah umum yang kita ketahui. Sebab kalau anak sudah dikenalkan dengan menggunakan metode belajar pada umumnya, dikhawatirkan anak jadi Bosan sekolah.

Dan inilah dampak negatifnya menurut para ahli, menyekolahkan anak di usia dini akan muncul masalah anak-anak menjadi mudah frustrasi. Dengan  tanda-tanda tidak fokus, kurang perhatian, sering menangis, sulit mengendalikan emosi, serta lemahnya kemampuan memecahkan masalah.

Sementara itu, kata Bunda Elly Risman, memasukkan sekolah anak pada usia dini, sama seperti menyemai benih kanker.

“Kita tidak tahu kapan kanker akan muncul dan dalam jenis apa. Kita tidak pernah tahu kapan ia kehilangan minat dan motivasi belajar.

resiko memasukkan anak sekolah dibawah umur

Masih kata Bunda Elly Risman Semakin dini anak kita sekolah, semakin cepat pula ia akan mengalami Bored Lonely Afraid-Angry Stress Tired (BLAST). Jika sudah mengalami BLAST, sangat rentan menjadi pelaku & korban bullying,  kejahatan seksual, dan pornografi,” kata Bunda Elly Risman.

Kesimpulan

Agar tidak ada resiko memasukkan anak sekolah itu terjadi. Bunda Elly Risman menganjurkan pentingnya asuhan orangtua dalam membentuk pekerti anak. Dan  ini membutuhkan kerjasama orang tua baik ayah maupun ibunya. 

Layaknya permainan bola, ada gawang yang dituju.

Nah, mengasuh anak pun ada tujuan.

Hasil pengamatan, budaya pengasuhan anak, sebagian besar orangtua tidak mengarah Tujuan Pengasuhan dan tidak memiliki kemufakatan untuk bersama-sama menjalankan pengasuhan pada anak-anak.

Lebih parah lagi, ada istilah “ FATHERLESS”, punya ayah tapi seperti tiada ayah. Artinya, ayah pergi pagi pulang malam tanpa salam dan sapa. Bukankah  harta  yang paling berharga adalah anak kita?. Karena anak adalah anugerah dari Sang Maha Pemberi (Allah).

Tinggalkan Balasan